Hari yang paling utama dalam satu tahun dalam islam adalah hari arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) dan hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah). Sedangkan hari yang paling utama dalam satu minggu bagi umat Islam ialah hari jum’at, sehingga umat muslim khususnya bagi mereka kaum laki-laki maupun mukallaf karena Hukum Sholat Jumat Bagi Laki Laki adalah wajib. Untuk menunaikan shalat jum’at, yaitu shalat yang dilaksanakan pada waktu dzhuhur secara berjama’ah di tempat-tempat tertentu. Shalat jum’at merupakan Shalat Fardhu dilaksanakan sekaligus sebagai pengganti Shalat Wajib yaitu sholat dhuhur, artinya bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat jum’at maka ia tidak perlu bahkan dilarang untuk mengerjakan shalat dzhuhur. Mengapa jum’at dikatakan hari yang utama diantara hari yang lain dalam satu minggu?
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ : فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ قُبِضَ وَفِيْهِ النَّفْخَةُ وَفِيْهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ ) قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ عَلَيْكَ صَلاَتُنَا وَقَدْ أَرَمْتَ ؟ فَقَالَ : ( إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ حَرَّمَ عَلىَ الْاَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الْاَنْبِيَاءِ
Artinya:
“Sesungguhnya di antara hari yang paling utama adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, Adam diwafatkan, sangkakala ditiup dan pada hari itu terjadi kematian (setelah ditiup sangkakala). Oleh karena itu, perbanyaklah bershalawat kepadaku, karena shalawatmu akan ditampakkan kepadaku.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami ditampakkkan kepadamu sedangkan Engkau telah menjadi tanah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa’i).
Hukum Sholat Jum’at
Hukum Meninggalkan Shalat Jumat adalah fardhu ain bagi tiap muslim, mukallaf, laki-laki, sehat, dan bermukim.
Adapun Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda :
اَلْجُمُعَةُ حَقٌ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ : عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ
Artinya:
“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang; budak, wanita, anak-anak atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Daruquthni, Baihaqi dan Hakim)
Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda :
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Artinya:
“Bagi musafir tidak wajib shalat Jumat.” (HR. Daruquthni)
Jadi, mereka yang wajib melaksanakan sholat jum’at adalah :
- Laki-laki, artinya kaum wanita tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at.
- Berakal, artinya orang gila tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at.
- Akil baligh, artinya anak-anak tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at.
- Mukim, artinya seorang musafir (mereka yang sedang dalam perjalanan jauh) tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at
- Sehat, artinya orang yang sedang sakit juga tidak diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum’at
Ketentuan Shalat Jum’at
Terdapat beberapa ketentuan yang menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan shalat jum’at, yaitu :
1. Tempat
Shalat Jum’at harus dilakukan di tempat-tempat tertentu, dan tempat untuk tersebut adalah tempat-tempat yang telah diperuntukkan untuk melaksanakan shalat jum’at misalnya di masjid, dan pelaksanaan shalat jum’at tidak perlu dilakukan di tempat-tempat shalat sementara misalnya di tanah lapang, kebun kosong, dan lain sebagainya.
2. Jumlah Jama’ah
Kita tahu bahwa shalat jum’at dilaksanakan secara berjama’ah, akan tetapi para Ulama memiliki perbedaan pendapat tentang berapakah jumlah minimal jama’ah yang hadir dalam sholat tersebut.
Beberapa pendapat tersebut antara lain adalah :
- Pendapat dari Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dan para ulamadari madzab Maliki berpendapat bahwa shalat Jum’at dilaksanakan sekurang-kurangnya oleh 40 (empat puluh) orang laki-laki.
Ketentuan ini sesuai dengan sebuah hadist yang artinya
“Telah berkata Abdurrahman bin Ka’ab : “Bapak saya ketika mendengar adzan hari jum’at biasa mendo’akan bagi As’ad bin Zararah. Maka saya bertanya kepadanya : Apabila mendengar Adzan mengapa ayah mendo’akan untuk As’ad bin Zararah? Lalu ayahnya menjawab : karena dialah orang yang pertama kali mengumpulkan kita untuk sholat Jum’at di desa hamin Nabit. Maka bertanya saya kepadanya : Berapakah waktu itu orang yang hadir? Ia menjawab : Empat puluh orang laki-laki.” (HR. Abu Dawud)
Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata:
مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً
Artinya:
“Sunnah telah berlaku bahwa pada setiap empat puluh orang ke atas wajib mendirikan sholat Jum’at.” (HR. Daruquthni dengan sanad yang lemah)
- Pendapat dari Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Imam Hanafi menyatakan bahwa cukup dengan empat orang termasuk seorang imam, bisa melaksakan ibadah shalat jum’at. Hal ini sesuai dengan sebuah hadist yang telah diriwayatkan oleh Thabrani, yang artinya:
“Jum’ah itu wajib bagi tiap-tiap desa yang ada padanya seorang imam, meskipun penduduknya hanya empat orang.”
- Pendapat dari Imam Aw-Za’i
Pendapat lain datang dari Imam Aw-Za’i yang menyatakan bahwa sholat jum’ah cukup dengan 12 orang saja.
Pendapat ini sesuai dengan hadist yang artinya:
“Orang yang pertama kali datang ke Madinah dari kaum Muhajirin ialah Mush’ab bin ‘Umair, dan dialah orang yang pertama mendirikan sholat jum’at di situ pada hari jum’at, sebelum Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam datang. (dan waktu itu) mereka dua belas orang.” (HR. Thabrani)
3. Waktu pelaksanaan
Sebagian besar para ulama menyatakan bahwa sholat jum’at dilaksanakan ketika telah masuk waktu dhuhur atau pada saat tergelincirya matahari. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam :
اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
Artinya:
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jumat ketika matahari bergeser (ke barat).” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Saamah in Al Aqwa’ pernah berkata :
كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
Artinya:
“Kami shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).”
Akan tetapi sholat jum’at juga dapat dilaksakan sebelum tiba waktu dhuhur. Ini sesuai dengan ucapan Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika ia pernah ditanya tentang “Kapankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jumat?” lalu ia pun menjawab:
كَانَ يُصَلِّى ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
Artinya:
“Beliau shalat Jumat. Setelah itu, kami pergi mendatangi unta kami dan mengistirahatkannya ketika matahari telah tergelincir.” (HR. Muslim)
4. Ketentuan Lain
Sebelum pelaksanaan sholat jum’at didahului dengan adanya dua khutbah yang menjadi salah satu syarat sahnya sholat jum’at. Khutbah tersebut disampaikan oleh khotib, dimana dalam berkhutbah seorang khotib hendaknya memperhatikan hal-hal seperti :
1. Seorang Khotib harus mengetahui rukun-rukun khutbah
Adapun rukun dari khutbah yang disampiakan oleh khotib adalah :
- Khutbah disampaikan sambil berdiri ; dan disela-sela khutbah tersebut diselingi dengan duduk yaitu setelah mengucapkan salam saat menaiki mimbar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ
Artinya:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhutbah dengan berdiri pada hari Jum’at, kemudian Beliau duduk, kemudian Beliau berdiri” (HR Muslim)
2. Khutbah jum’at dianjurkan untuk dimulai dengan membaca khutbatul jannah sebagai berikut :
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
“INNAL HAMDA LILLAH NAHMADUHU WANASTA’INUHU WANASTAGHFIRUH. WANA’UDZUBILLAHI MIN SYURURI ANFUSINA WAMIN SAYYI’ATI A’MALINA. MAN YAHDIHILLAHU FALA MUDILLA LAH WAMAN YUDLIL FALA HADIYA LAH.”
3. Membaca Kalimat Syahadat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
Artinya:
“Tiap-tiap khutbah yang tidak ada tasyahhud (syahadat) padanya, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong” (HR Abu Dawud)
Adapun kalimat syahat tersebut adalah :
اَشْهَدُاَنْالَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَثْهَدُاَنَّ مُحَمَّدًا رَسٌؤلُ اللهِ
“ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAH.”
Artinya:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
4. Membaca Shalawat Nabi
Dari Aun bin Abi Juhaifah, dia perah berkata :
كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ يَجْعَلُ اللَّهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ
Artinya:
“Dahulu bapakku termasuk pengawal Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan berada di bawah mimbar. Bapakku bercerita kepadaku bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu naik mimbar, lalu memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjungNya, dan bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, yang kedua adalah Umar Radhiyallahu a’nhuma“. Ali Radhiyallahu juga berkata: “Alloh menjadikan kebaikan di mana Dia cintai” (HR. Ahmad)
Adapun Lafadz shalawat atas Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam adalah :
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
“ALLAHUMMA SHALLI ALA MUHAMMADAD WA ALA ALIHI WA ASHABIHI WAMAN TABI’AHUM BI IHSANIN ILA YAUMIDDIN.”
5. Dalam menyampaikan khutbahnya, khotib menghadap ke makmum
Dari Ibnu hajar pernah mengatakan bahwa
“Diantara hikmah makmum menghadap kepada imam, yaitu bersiap-siap untuk mendengarkan perkataannya, dan melaksanakan adab terhadap imam dalam mendengarkan perkataannya. Jika makmum menghadapkan wajah kepada imam, dan menghadapkan kepada imam dengan tubuhnya, hatinya, dan konsentrasinya, hal itu lebih mendorong untuk memahami nasihatnya dan mencocoki imam terhadap apa yang telah disyari’atkan baginya untuk dilaksanakan.” (Fathul Bari, 2/489).
6. Khotib berwasiat pada para jama’ah untuk bertaqwa kepada Allah SWT di dalam kedua khutbahnya, misalnya dengan bacaan :
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
“YA AYYUHALLADZINA AMANUTTAQULLAHA HATTA TAQATIHI WALA TAMUTUNNA WA ANTUM MUSLIMUN.”
7. Membaca ayat-ayat Al-qur’an
Di salah satu khutbahnya, khotib dianjurkan untuk membaca ayat-ayat Al-qur’an yang mengandung makna lengkap (bukan potongan ayat). Dan khotib bebas menentukan ayat mana yang ingin ia baca pada khutbahnya tersebut.
8. Berdo’a
Do’a biasanya diucapkan pada kedua khutbah. Contoh bacaan do’a dalam khutbah jum’at :
Pada khutbah pertama :
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“BARAKALLAHU LII WA LAKUM FILL QUR’AANIL AZHIIM WA NAFA’NII WA IYYAAKUM BIMA FIIHI MINAL AAYAATI WA DZIKRIL HAKIIM. AQUULU QOWLII HADZAA WA ASTAGHFIRULLAAHA LII WA LAKUM WA LISAA IRIL MUSLIMIINA MIN KULLI DANBIN FASTAGHFIRUUHU INNAHU HUWAL GHAFUURUR RAHIIMU.”
Pada khutbah kedua :
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين
“ALLAHUMMAGH FIR LILMUSLIMIINA WAL MUSLIMAATI, WAL MU’MINIINA WAL MU’MINAATIL AHYAA’I MINHUM WAL AMWAATI, INNAKA SAMII’UN QORIIBUN MUHIIBUD DA’WAATI.
ROBBANAA LAA TUAAKHIDZNAA IN NASIINAA AW AKHTHO’NAA. ROBBANAA WALAA TAHMIL ‘ALAYNAA ISHRON KAMAA HALAMTAHUU ‘ALALLADZIINA MIN QOBLINAA.ROBBANA WALAA TUHAMMILNAA MAA LAA THOOQOTALANAA BIHI, WA’FUA ‘ANNAA WAGH FIR LANAA WAR HAMNAA ANTA MAW LAANAA FANSHURNAA ‘ALAL QOWMIL KAAFIRIINA.
ROBBANA ‘AATINAA FIDDUNYAA HASANAH WA FIL AAKHIROTI HASANAH WA QINAA ‘ADZAABANNAAR. WALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘AALAMIIN.”
- Seorang khotib harus menjiwai isi dari khutbah yang ia sampaikan.
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ
Artinya:
“Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan mengatakan:’ Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi’, ‘Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore’.” (HR Muslim).
Hendaknya khotib mempersingkat khutbah yang ia sampaikan
Dalam kitabnya yang berjudul Imamatul Masjid, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Al ‘Ablaani berkata
“Memanjangkan khutbah merupakan cacat yang seharusnya ditinggalkan oleh para khathib. Mereka lebih mengerti daripada yang lain, bahwa pengunjung masjid pada shalat Jum’at ada pemuda, ada orang tua pikun yang tidak mampu menahan wudhu’ dan kesucian sampai waktu yang lama, ada orang yang memiliki kebutuhan lain, ada orang yang lemah, orang sakit, dan ada orang-orang yang memiliki halangan. Sehingga memanjangkan khutbah akan sangat menyusahkan mereka. Selain itu, memanjangkan khutbah akan membangkitkan kebosanan, bahkan kejengkelan terhadap khathib dan khutbahnya. Sebagaimana dikatakan (dalam pepatah): Sebaik-baik perkataan adalah yang ringkas dan jelas, dan tidak panjang lebar yang membosankan.”
Dalam Al ‘Ujalah Fi Sunniyyati Taqshiril Khutbah, Syaikh Ahmad bin Muhammad Alu Abdul Lathif Al Kuwaiti berkata:
“Wahai, khathib yang membuat orang menjauhi dzikrullah (khutbah), karena engkau memanjangkan perkataan! Tahukah engkau, bahwa diantara sunnah khutbah Jum’at adalah meringkaskannya dan tidak memanjangkannya. Dan sesungguhnya memanjangkan khutbah Jum’at menyebabkan para hadirin lari (tidak suka), menyibukkan fikiran, dan tidak puas dengan tuntunan Nabi Pilihan (Muhammad) n serta para pendahulu umat ini yang baik-baik.”
Khutbah disampaikan dengan suara yang jelas dan tidak disampaikan dengan berbicara terlalu cepat sehingga makmum yang mendengarkan akan dapat memahami isi khutbah yang disampaikan oleh khotib.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha :
لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ
Artinya:
“Beliau tidak berbicara cepat sebagaimana engkau berbicara cepat.” (HRBukhari dan Muslim).
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyebutkan bahwa :
وَلَكِنَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِكَلاَمٍ بَيِّنٍ فَصْلٍ, يَحْفَظُهُ مَنْ جَلَسَ إِلَيْهِ
Artinya:
“Tetapi Beliau berbicara dengan pembicaraan yang terang, jelas, orang yang duduk bersama Beliau dapat menghafalnya.”
- Khotib diperbolehkan menghentikan sementara khutbahnya
Dalam keadaan tertentu, seorang khotib bisa menghentikan khutbahnya, seperti untuk menenangkan jama’ah yang ramai, mengingatkan para jama’ah untuk menunaikan sholat tahiyatul masjid, dan lain sebagainya.
Dalam sebuah Hadist Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah berkata ketika menjumpai Sulaik masuk ke dalam Masjid sementara Beliau (Rasulullah) sedang berkhutbah :
يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
Artinya:
“Hai, Sulaik! Berdirilah, lalu shalatlah dua raka’at, dan ringkaskanlah dua raka’at itu.” Kemudian Beliau bersabda,”Jika salah seorang diantara kamu datang, pada hari Jum’at, ketika imam sedang berkhutbah, hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaklah dia meringkaskan dua raka’at itu.” (HR Muslim)
- Pada saat berdo’a, cukup diisyaratkan dengan mengangkat telunjuk saja
عَنْ عُمَارَةَ ابْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
Artinya:
“Dari ‘Umarah bin Ruaibah, dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar sedang mengangkat kedua tangannya. Maka ‘Umarah berkata: “Semoga Allah memburukkan dua tangan itu! Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah lebih dari mengisyaratkan dengan tangannya begini”. Dia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya.” (HR Muslim)
Tata cara Pelaksanaan Sholat Jum’at
Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam menganjurkan untuk memperpendek khutbah jum’at dan juga tidak memperpanjang waktu sholatnya.
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
Artinya:
“Aku biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka shalat Beliau sedang, dan khutbah Beliau sedang”. (HR Muslim)
قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا
Artinya:
“Abu Wa’il berkata: ’Ammar berkhutbah kepada kami dengan ringkas dan jelas. Ketika dia turun, kami berkata,”Hai, Abul Yaqzhan (panggilan Ammar). Engkau telah berkhutbah dengan ringkas dan jelas, seandainya engkau panjangkan sedikit!” Dia menjawab,”Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya panjang shalat seseorang, dan pendek khutbahnya merupakan tanda kefahamannya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah! Dan sesungguhnya diantaranya penjelasan merupakan sihir’.” (HR Muslim)
Lalu seharusnya seberapa lama sholat jum’at itu dilaksanakan?
Dari An Nu’man pernah berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
Artinya:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at dengan: Sabbihisma Rabbikal a’la dan Hal ataaka haditsul ghasyiyah” (HR Muslim).
Dan Abu Hurrairah pernah berkata :
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
Artinya:
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca keduanya (surat Al A’la dan Al Ghasyiyah) pada hari Jum’at” (HR Muslim).
Niat Sholat Jum’at
1. Niat sholat jum’at bagi seorang makmum, yaitu :
أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ مَأمُومًا ِللهِ تَعاليَ
“USHALLI FARDAL JUM’ATI ADA’AN MUSTAQBILAL QIBLATI MAKMUMAN LILLAHI TA’ALA.”
2. Niat Sholat Jum’at bagi seorang imam yaitu :
أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ إمَامًا ِللهِ تَعاليَ
“USHALLI FARDAL JUM’ATI ADA’AN MUSTAQBILAL QIBLATI IMAMAN LILLAHI TA’ALA.”
Bacaan Do’a setelah Shalat Jum’at
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من قرأ بعد صلاة الجمعة : قل هو الله أحد ، وقل أعوذ برب الفلق ،وقل أعوذ برب الناس ، سبع مرات ، أعاذه الله عز وجل بها من السوء إلى الجمعة الأخرى
Artinya:
“Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membaca (setelah shalat Jum’at) surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas sebanyak tujuh kali, Allah akan mengindarkannya dari keburukan (kejahatan) sampai Jum’at berikutnya.”
Untuk bacaan do’a setelah shalat jum’at tergantung atau terserah pada imam yang memimpin sholat tersebut. Akan tetapi dianjurkan untuk membaca doa’ berikut ini sebanyak 3 kali :
اَللَهُمَّ يَا غَنِيُ يَا حَمِيدُ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيدُ يَا رَحِيْمُ يَاوَدُوْدُ أَغْنِنِي ِبحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Dan diakhiri dengan :
إلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أهْلًا وَلَا أَقْوَي عَلَي النَارِ الجَحِيْمِ
فَهَبْ ِلي تَوْبَةًوَاغْفِرْ ذُنُوْبِي فَإنَكَ غَافِرُ الذَنْبِ العَظِيمِ
Artinya:
“Ya Tuhanku, aku bukanlah ahli surga, tapi aku juga tidak kuat berada di neraka. Karena itu, ampuni dosa-dosaku sesungguhnya Engkau maha memaafkan dosa-dosa besar.”
Keutamaan Sholat Jum’at
Allah SWT telah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki” (Al Jum’ah ayat 9-11)
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ
Artinya:
“Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari Jum’at.”
Dalam Hadist yang lain, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Artinya
“Shalat yang lima waktu, Jumat yang satu ke Jumat berikutnya dan (puasa) Ramadhan yang satu ke (puasa) Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya jika dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana bagi mereka yang meninggalkan sholat jum’at?
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya
“Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan shalat Jumat atau jika tidak, Allah akan mengecap hati mereka, sehingga mereka tergolong orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ
Artinya
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa uzur, maka akan dicatat termasuk orang-orang munafik.” (HR. Thabrani)
Sumber : https://dalamislam.com/shalat/shalat-jumat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid.
Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin.
Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 Komentar